Sinopsis sebuah novel berlatar sisi lain Perang Dunia II yang diangkat ke dalam layar lebar berjudul "The boy in the Stripped Pyjamas"._____________________________________________________________________
Terinspirasi cerita film yang sempat saya tonton di atas, saya tidak berniat membahasnya dari sudut holocaust yang kontroversi itu. Yang ingin saya perkenalkan ialah perihal alat pembakar yang dalam sinopsis disebut sebagai ruang pemandian, dan pada era kini dikenal dengan sebutan INCINERATOR.
Teknologi tungku pembakaran atau incinerator sebenarnya ialah teknologi kuno dan sederhana untuk memusnahkan materi, apakah itu solid material ataupun liquid, termasuk jasad organik. Barang lama namun kini dilengkapi dengan sentuhan hi-tech. Parameter kecanggihannya dapat diukur oleh beberapa hal sbb:
- tingkat temperatur, yang berarti sejauh mana panas incinerator dapat menghanguskan suatu zat
- tingkat keramahan bagi lingkungan, yang berarti sejauh mana incinerator dapat meredam polusi beracun dan menghasilkan residu hijau
- tingkat kapasitas load sampah incinerator
- tingkat transformasi menjadi benefit [energi] lain yang bermanfaat
Incinerator rancangan Australia yang di pabrikasi di Malaysia ini bahkan satu-satunya di Indonesia yang sudah memperoleh sertifikat uji emisi dari WHO, yang berarti asap yang dikeluarkan dari incinerator dijamin hijau bagi lingkungan, membakar sampah tanpa menyampah! Lantas, limbah seperti apa saja yang dibakar? Sang supervisor menyebutkan hampir segala jenis sampah dapat dihanguskan, karena incinerator tersebut dibekali pembakaran hingga 1300 derajat Celcius. Namun umumnya yang dibakar ialah sampah-sampah rumah sakit sejenis labu infus, suntikan, selang, urine, pembalut, darah, hingga potongan bagian tubuh manusia sisa-sisa operasi... Arggh, jenis sampah yang mengerikan. Jelas sampah jenis ini tidak akan kita temui pada bak sampah di perumahan kita bukan?
Incinator di Dawuan ini baru memfokuskan pada limbah medis, belum mau memenuhi market limbah B3 (Bahan Berbahaya Beracun) sisa industri atau limbah domestik rumah tangga. Konon incinerator limbah medis lebih mahal, jelas dibandingkan pengolah limbah B3 atau limbah domestik. Rumah sakit atau poliklinik yang akan membuang sampahnya dikenakan tarif Rp8-10 ribu/kg (di luar jawa Rp 30.000/kg), padahal mereka bisa membuang (bolehlah kita sebut membeli sampahnya sendiri) hingga ratusan kilogram perbulannya. This is very expensive.. Lagian, buang sampah ko bayar. Tapi disinilah kesadaran mereka dipertaruhkan. Bisnis rumah sakit bukan semata-mata mengobati dan mengurusi pasien, tetapi juga mengurusi sampah/limbah yang berkenaan dengan pasien. Di sisi lain, pemilik incinerator pun harus merogoh kantongnya dalam-dalam hingga 40M-an untuk penyediaan incinerator set beserta infrastruktur dengan kapasitas 12ton/hari ini.
Urusan mahalnya hidup manusia ternyata bukan hanya makan, minum dan bernaung. Yang banyak kita lupakan ialah urusan membuang sampah. Setiap kita adalah produsen sampah. Seratus gram saja tiap manusia Jawa Barat membuang sampah dalam sehari, maka pada hari yang sama diperlukan lahan untuk menampung 4 Juta Kg (=4.000 Ton) sampah. Ketersediaan lahan di Jawa Barat sendiri (dan mungkin seperti halnya di provinsi lainnya) sangat terbatas. Masyarakat juga sudah sangat jenuh ditawari pembukaan lahan TPS/TPA baru di sekitar pemukiman mereka. Dan... Insinerasi yang green adalah metodologi pemproses sampah yang patut dijadikan opsi lain bagi para stakeholder. Investasi boleh mahal, tapi kelangsungan hidup sehat masyarakat harus tetap terpelihara.
Bolehlah kita melirik Singapura yang telah mempunyai 4 set Incirator plant-nya sendiri, berkapasitas superbesar pula. Terbesar ada di wilayah Tuas, bagian barat Singapura. Seluruh sampah di negara tersebut tumpah ruah dan dibakar dengan tingkat efisiensi hingga 90%. Artinya residu yang tersisa hanya 10%. Itupun difungsikan sebagai landfill untuk pengurukan jalan raya. Selain itu suhu panas yang dihasilkan incinerator dapat mereka jadikan suplly energi listrik. Artinya, incinerator di negeri singa telah menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Inilah yang membuat the little Singapura yang sempit terbebas dari keterbatasan lahan untuk sampah... juga energi!
Dan, hidup di Indonesia yang sangat luas ini, ternyata cukup pengap untuk dapat berdampingan dengan sampah. Mungkin kini sudah saatnya G kita melirik incinerator sebagai alternatif lainnya, dan sekali-kali mau serius mengeluarkan uang untuk urusan sampah yang dari dulu seringkali dianggap ga penting itu.
No comments:
Post a Comment
Kolom Komentar: