Pages

November 09, 2010

Sampah Rumah Sakit dibuang ke?

Seorang anak petinggi militer Jerman sembunyi-sembunyi menemui teman bermain 'rahasia'-nya di kamp penindasan pekerja Yahudi yang dijaga ketat Jerman. Pada kamp tersebut, asap berbau bangkai mengepul terus menerus setiap hari dari tungku pembakaran yang tinggi menjulang dengan bahan bakar yang seolah tak habis-habis. Si bocah Jerman pun penasaran untuk masuk ke wilayah terlarang kamp, dan menyamar dengan mengenakan piyama si bocah Yahudi. Jadilah mereka berdua bersama-sama di area kamp tanpa dikenali bahwa salah satunya adalah seorang anak Jerman. Sampai tibalah peluit tentara melengking kencang, menginstruksikan semua pekerja di kamp, termasuk kedua bocah, ke sebuah ruangan besar yang dinamakan ruang Pemandian. Mereka pun berbaris berdiri berjejalan. Tentara Jerman berkata: "Buka baju kalian semua, kalian akan dimandikan!". Benar saja mereka dimandikan oleh cairan sabun hitam pekat tanpa busa yang memancar dari sekeliling ruangan. Menjijikan! bau sabunnya amis, layaknya solar kotor.Di saat yang sama, seorang petinggi Jerman tengah kebingungan kehilangan anaknya yang seharusnya saat itu ada di rumah. Ia lantas memerintahkan seluruh pasukan untuk menelusuri jejak kaki yang ditinggalkan anaknya. Jejak tersebut mengarah pada sebuah kamp pekerja Yahudi yang kini telah kosong tanpa satupun penghuni. Yang ada hanyalah asap hitam pada tungku pembakaran yang semakin membesar dari arah ruang pemandian. Si bocah telah menjadi abu...

Sinopsis sebuah novel berlatar sisi lain Perang Dunia II yang diangkat ke dalam layar lebar berjudul "The boy in the Stripped Pyjamas".
_____________________________________________________________________

Terinspirasi cerita film yang sempat saya tonton di atas, saya tidak berniat membahasnya dari sudut holocaust yang kontroversi itu. Yang ingin saya perkenalkan ialah perihal alat pembakar yang dalam sinopsis disebut sebagai ruang pemandian, dan pada era kini dikenal dengan sebutan INCINERATOR.

Teknologi tungku pembakaran atau incinerator sebenarnya ialah teknologi kuno dan sederhana untuk memusnahkan materi, apakah itu solid material ataupun liquid, termasuk jasad organik. Barang lama namun kini dilengkapi dengan sentuhan hi-tech. Parameter kecanggihannya dapat diukur oleh beberapa hal sbb:

  • tingkat temperatur, yang berarti sejauh mana panas incinerator dapat menghanguskan suatu zat
  • tingkat keramahan bagi lingkungan, yang berarti sejauh mana incinerator dapat meredam polusi beracun dan menghasilkan residu hijau
  • tingkat kapasitas load sampah incinerator
  • tingkat transformasi menjadi benefit [energi] lain yang bermanfaat
Beberapa waktu lalu saya sempat melakukan site visit ke incinerator limbah medis di Dawuan Cikampek, milik PT Jasa Medivest, anak perusahaan tempat saya bekerja. Ia mampu menghanguskan hingga 12 ton limbah medis tiap harinya. Hampir menyamai potensi limbah medis di jawa barat dan DKI yang 13-18 ton perhari.

Incinerator rancangan Australia yang di pabrikasi di Malaysia ini bahkan satu-satunya di Indonesia yang sudah memperoleh sertifikat uji emisi dari WHO, yang berarti asap yang dikeluarkan dari incinerator dijamin hijau bagi lingkungan, membakar sampah tanpa menyampah! Lantas, limbah seperti apa saja yang dibakar? Sang supervisor menyebutkan hampir segala jenis sampah dapat dihanguskan, karena incinerator tersebut dibekali pembakaran hingga 1300 derajat Celcius. Namun umumnya yang dibakar ialah sampah-sampah rumah sakit sejenis labu infus, suntikan, selang, urine, pembalut, darah, hingga potongan bagian tubuh manusia sisa-sisa operasi... Arggh, jenis sampah yang mengerikan. Jelas sampah jenis ini tidak akan kita temui pada bak sampah di perumahan kita bukan?

Incinator di Dawuan ini baru memfokuskan pada limbah medis, belum mau memenuhi market limbah B3 
(Bahan Berbahaya Beracun) sisa industri atau limbah domestik rumah tangga. Konon incinerator limbah medis lebih mahal, jelas dibandingkan pengolah limbah B3 atau limbah domestik. Rumah sakit atau poliklinik yang akan membuang sampahnya dikenakan tarif Rp8-10 ribu/kg (di luar jawa Rp 30.000/kg), padahal mereka bisa membuang (bolehlah kita sebut membeli sampahnya sendiri) hingga ratusan kilogram perbulannya. This is very expensive.. Lagian, buang sampah ko bayar. Tapi disinilah kesadaran mereka dipertaruhkan. Bisnis rumah sakit bukan semata-mata mengobati dan mengurusi pasien, tetapi juga mengurusi sampah/limbah yang berkenaan dengan pasien. Di sisi lain, pemilik incinerator pun harus merogoh kantongnya dalam-dalam hingga 40M-an untuk penyediaan incinerator set beserta infrastruktur dengan kapasitas 12ton/hari ini.

Urusan mahalnya hidup manusia ternyata bukan hanya makan, minum dan bernaung. Yang banyak kita lupakan ialah urusan membuang sampah. Setiap kita adalah produsen sampah. Seratus gram saja tiap manusia Jawa Barat membuang sampah dalam sehari, maka pada hari yang sama diperlukan lahan untuk menampung 4 Juta Kg (=4.000 Ton) sampah. Ketersediaan lahan di Jawa Barat sendiri (dan mungkin seperti halnya di provinsi lainnya) sangat terbatas. Masyarakat juga sudah sangat jenuh ditawari pembukaan lahan TPS/TPA baru di sekitar pemukiman mereka. Dan... Insinerasi yang green adalah metodologi pemproses sampah yang patut dijadikan opsi lain bagi para stakeholder. Investasi boleh mahal, tapi kelangsungan hidup sehat masyarakat harus tetap terpelihara.

Bolehlah kita melirik Singapura yang telah mempunyai 4 set Incirator plant-nya sendiri, berkapasitas superbesar pula. Terbesar ada di wilayah Tuas, bagian barat Singapura. Seluruh sampah di negara tersebut tumpah ruah dan dibakar dengan tingkat efisiensi hingga 90%. Artinya residu yang tersisa hanya 10%. Itupun difungsikan sebagai landfill untuk pengurukan jalan raya. Selain itu suhu panas yang dihasilkan incinerator dapat mereka jadikan suplly energi listrik. Artinya, incinerator di negeri singa telah menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa). Inilah yang membuat the little Singapura yang sempit terbebas dari keterbatasan lahan untuk sampah... juga energi!

Dan, hidup di Indonesia yang sangat luas ini, ternyata cukup pengap untuk dapat berdampingan dengan sampah. Mungkin kini sudah saatnya G kita melirik incinerator sebagai alternatif lainnya, dan sekali-kali mau serius mengeluarkan uang untuk urusan sampah yang dari dulu seringkali dianggap ga penting itu.

No comments:

Post a Comment

Kolom Komentar: